Review dan Sinopsis Sajak Angin pun Berbisik
Spot Iklan 768x90 120x120 300x250 Tersedia, Hubungi Via Facebook
Jika hidup itu ibarat kopi, mungkin pahit rasanya. Tapi bukan berarti kita tidak bisa berfikir untuk membuat kopi itu menjadi manis untuk dinikmati. Carilah sesuatu yang bisa menjadikan hidup itu menjadi manis, bukankah soal rasa hanya masing-masing dari kita yang menciptakannya?Selamat menikmati Hidup :-)
Keterangan
Judul Sajak : Angin pun Berbisik
Penulis : Irwan Dwi Kustanto, Siti Atmamiah, Zeffa Yurihana
Penerbit : Sp@si, Yayasan Mitra Netra
Genre : Puisi, Sajak
Terbit : Januari 2008
ISBN : 9789791685238
Dimensi : 5.8 x 0.4 x 8.3 Inch
Jumlah Halaman : xxvii + 164
Negara : Indonesia
Bahasa : Indonesia
Web Resmi : MitraNetra
Review
Buku Sajak yang berjudul Angin pun Berbisik merupakan hasil karya sebuah keluarga penikmat puisi menjadi pencipta puisi, Irwan Dwi Kustanto adalah suami atau ayah dari Seffa, Siti Atmamiah adalah istri atau ibu dari Seffa, dan Seffa Yurihana adalah anak dari Irwan Dwi Kustanto dan Siti Atmamiah. Pak Irwan adalah seorang tuna netra, sedangkan Ibu Siti dan Zeffa adalah istri dan anaknya yang bermata awas yang membangun tekad menyumbangkan hasil penjualan seluruh CD ini pada 100% pada Yayasan Mitra Netra sebagai pendanaan buku Braille untuk tuna netra.
Puisi-puisi dalam buku ini lahir dari sebuah proses ekspresi, saksi, sekaligus dokumentasi pasang-surut cinta, rindu, cemburu, kesedihan, dan kebahagiaan dalam hubungan Suami - Istri dan Ayah - Ibu - Anak.
Puisi ini membangun ruang batin yang rasanya juga ingin ikut bersenandung bersama sambil menikmati untaian kata-kata, simbol dan asosiasi yang seolah berloncatan secara dinamik dalam dunia yang tak kasat mata, pusi ini sungguh indah.
Puisi yang saya tulis sebagai contoh sinopsis adalah salah satu puisi favorit ku, yang membuat ku tertarik untuk membeli buku ini beberapa bulan yang lalu^^
Sinopsis
Ketika aku bertanya
Mengapa kau kirimkan air mata
Kepada gurun-gurunku yang terik
Sisi mana hendak kau jangkau
Pelabuhan-pelabuhan mana hendak kau sandar
Sedang rembulan di tanganmu belum jua membelah malam untuk di baringkan
Pada bantal yang selalu basah
Karena air mata tak cukup mengucap cinta